Pak, Bu…
Dulu waktu kecil, aku sering heran kenapa kalian seringkali terlihat lelah, diam, atau sesekali marah tanpa banyak alasan. Kupikir, mungkin orang dewasa memang mudah kesal. Tapi sekarang… aku mengerti.
Ternyata dewasa itu bukan hanya soal bisa beli apa yang kita mau. Tapi tentang menahan diri dari banyak hal, demi orang-orang yang kita sayangi.
Dewasa itu… bangun pagi meski badan masih ingin rebahan.
Berangkat kerja atau mengurus rumah meski hati sedang berantakan.
Tersenyum di depan anak, pasangan, atau rekan kerja, padahal dalam hati ingin menangis.
Dewasa itu… makan belakangan setelah semua kebagian.
Menunda mimpi sendiri demi melihat orang lain lebih dulu berhasil.
Pura-pura kuat supaya orang tua di rumah nggak khawatir, supaya anak-anak tetap merasa aman.
Dewasa itu… memilih diam, meski tahu kebenaran.
Memaafkan duluan, walau bukan kita yang salah.
Mengalah bukan karena kalah, tapi karena tahu damai lebih penting dari benar itu sendiri.
Pak, Bu…
Ternyata lelah itu seringkali tidak terlihat. Tapi terasa. Ternyata tangis itu seringkali disimpan, bukan karena tak ada rasa — tapi karena tak ingin membebani siapa-siapa.
Dulu aku pikir, kalian itu kuat. Sekarang aku tahu, kalian hanya pandai menyembunyikan luka dan menunda lelah.
Maaf ya, kalau dulu aku sering mengira kalian marah karena nggak sayang.
Maaf kalau dulu aku merasa hidupku paling sulit, padahal kalian menanggung beban yang jauh lebih banyak tanpa pernah banyak cerita.
Kini, setiap kali aku lelah, aku ingat kalian. Setiap kali aku ingin menyerah, aku terbayang wajah kalian yang tetap tersenyum meski hari sedang sulit.
Ternyata dewasa itu begini ya… Penuh tanggung jawab yang tak bisa dibagi-bagi. Penuh keputusan yang harus diambil, meski ragu dan takut salah. Penuh senyum yang dipaksakan, hanya agar rumah tetap terasa hangat.
Ternyata… menjadi dewasa bukan tentang usia. Tapi tentang bagaimana kita belajar mencintai dalam diam, berjuang dalam senyap, dan mendoakan dalam gelap.
Terima kasih ya, Pak… Bu… Karena pernah melewati ini semua tanpa banyak mengeluh.
Sekarang giliranku. Giliranku untuk kuat, meski kadang ingin menyerah juga. Giliranku untuk tetap melangkah, dengan harapan suatu saat aku bisa setangguh kalian.
Terima kasih sudah menguatkan aku tanpa suara. Maaf karena sering tidak tahu diri. Dan semoga Allah selalu menjaga kalian, sebagaimana kalian dulu menjaga aku dengan seluruh jiwa dan cinta yang kalian punya.
Peluk hangat dari anakmu… 🤍
0 Komentar